Ini adalah judul yang sama dengan lagu Muse "MKUltra" di album The Resistance. Setelah browsing mencari makna lagu ini dan akhirnya ketemu. Dan ternyata MK-Ultra adalah sebuah proyek CIA. Setelah membaca, timbullah
berbagai pertanyaan apakah memang MK-ULTRA Project itu mempunyai
keterkaitan dengan peredaran obat bius yang saat ini sedang marak di
Asia Tenggara. Konspiratif memang, tapi pasti ada alasan rasional di
belakangnya. Proyek ini merupakan sebuah proyek yang dijalankan oleh CIA
pada tahun 1953 hingga akhir tahun 1960-an, yang bertujuan untuk
mencari taktik yang paling jitu dalam melakukan mind-controlling untuk
meraih informasi yang berguna bagi Amerika yang saat itu sedang
berjibaku dengan kekuatan-kekuatan Komunis dunia. Proyek ini muncul
sebagai reaksi terhadap munculnya metode serupa yang dilakukan oleh
Sovyet, Cina dan Korea Utara dalam memperlakukan para tahanan perang
Amerika di Korea.
MK-ULTRA Project kemudian menghasilkan sebuah formulasi obat bius
yang dikenal sebagai LSD. Di era tahun 70-an, LSD juga sangat erat
berkaitan dengan kehidupan kaum hippies dan flowers generations yang menentang keras adanya perang Vietnam. Simbolnya sangat terkenal: sex, drugs, and rock&roll.
Namun yang menjadi pertanyaan mengganjal di benak saya adalah apakah
memang ada keterkaitan antara proyek ini dengan munculnya para kaum hippies tersebut,
lalu apa keterhubungannya dengan maraknya pemakaian obat bius di
kalangan serdadu US di Vietnam, lalu apa keterkaitannya dengan munculnya
drug lord semacam Khun Sa di Kamboja, dan maraknya peredaran obat bius di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Sisi non-humanis yang muncul dari proyek ini adalah pengambilan sample manusia secara random (baik
ia sadari maupun tidak) untuk menjadi “kelinci percobaan”. Bahkan,
dalam ulasan wikipedia itu, disebutkan bahwa salah satu “korban” dari
proyek ini adalah Frank Olson, seorang biological weapons researcher Amerika.
Ia diberikan LSD secara tidak ia sadari, dan kemudian melakukan bunuh
diri seminggu setelahnya setelah mengalami depresi halusinasi hebat.
Sisi halusinogen yang mendominasi pikirannya lah yang membuatnya ia
melompat dari lantai 10 di sebuah gedung bertingkat di New York.
Saya jadi teringat akan fenomena peredaran obat bius di Indonesia,
khususnya di Jakarta. Berbagai jenis obat bius, dari yang bersifat anti
depresan hingga yang bersifat stimulatif, beredar dengan bebas. Dahulu,
sekitar 4 tahun silam, saya menyaksikan langsung bagaimana dampak
negatif dari obat bius ini memakan habis kehidupan teman-teman
sepermainan saya. Beberapa ada yang bertahan dengan mengikuti
serangkaian proses rehabilitasi, akan tetapi tidak sedikit pula yang
kehidupannya justru makin terpuruk karena tubuhnya tidak mampu lepas
dari godaan zat halusinogen tersebut. Ilustrasi dampak LSD yang
diceritakan oleh Wikipedia ini sangat serupa dengan apa yang saya
saksikan 4 tahun silam. Sangat mengenaskan, tetapi saya belum bisa
melakukan apapun untuk mencegah dampak negatif tersebut.
Sepertinya ada argumen yang berada di balik maraknya peredaran obat
bius tersebut. Tadi malam, saya melihat berita tertangkapnya seorang
bandar narkoba yang akan mencoba untuk mengekspor ampethamine sebagai bahan baku ecstassy ke
Australia. Nilai seluruh transaksinya tidak main-main: sebesar 30
trilyun 400 milyar rupiah. Bisa membeli satu pulau kecil di pasifik
selatan. Selama 2 bulan terakhir, media juga getol memberitakan adanya 2
penggerebekan pabrik ecstassy di Indonesia, yang diklaim sebagai yang
terbesar di seluruh kawasan Asia Tenggara. Saya makin penasaran untuk
meneliti jaring peredaran obat bius di kawasan Asia Tenggara ini.
Apabila ditarik ke dalam pembahasan akademis, isu ini memang masih berada dalam koridor “grey-area phenomena“, sehingga argumentasinya pun masih bersifat sangat vague.
Sebabnya adalah minimnya referensi yang membahas topik peredaran obat
bius, dan juga isu-isu keamanan non-konvensional lainnya seperti arms smuggling, human trafficking dan money laundring.
Dunia akademis menuntut adanya sebuah analogi induktif yang berangkat
dari sintesa yang telah ada sebelumnya. Permasalahan peredaran obat bius
di kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah anomali karena sulitnya untuk
mendapatkan data akurat mengenai siapa pemasok utama, berapa jumlah obat
bius yang masuk ke Indonesia, dan jaringan-jaringan apa saja yang
terlibat.
Asumsi saya kemudian mengarah pada penjelasan dari seorang teman yang
pernah bergelut di wilayah abu-abu ini. Ia menceritakan bahwa terdapat 3
tipe dolar yang diedarkan di Asia Tenggara. Pertama, dolar putih. Katanya, dolar ini merupakan uang yang beredar di masyarakat setiap hari dan menjadi alat transaksi umum. Kedua,
dolar hitam. Dolar ini menurutnya berasal dari transaksi-transaksi
perjudian. Dolar tipe ini biasanya akan berlanjut untuk transaksi money laundring.
Dan ketiga, dolar abu-abu. Dolar inilah yang menurut penuturannya
berasal dari transaksi obat bius yang beredar setiap hari di kawasan
Asia Tenggara. Menariknya, dolar abu-abu yang termanifestasi melalui
transaksi obat bius ini merupakan transaksi yang paling “ramai” di Asia
Tenggara. Nilai nominal transaksi amphetamine ke Australia seperti yang
diberitakan oleh media saja sudah bisa membeli sebuah pulau kecil di
Pasifik Selatan. Bagaimana yang tidak ter-cover? Mungkin bisa buat
beliin cendol satu provinsi, selama 7 tahun gak putus-putus. hehe.
Asumsi saya kemudian berlanjut mengenai apakah memang Asia Tenggara
dikondisikan sebagai lahan yang subur untuk berputarnya uang abu-abu
ini, khususnya dalam hal peredaran zat halusinogen? Asumsi ini berangkat
dari adanya sejarah MK-ULTRA Project di US, dan munculnya Khun Sa di
Kamboja sebagai druglord yang dahulu pernah mendapatkan pelatihan
khusus dari CIA untuk menangani ancaman Komunis di kawasan Vietnam
Utara. Masalah ini tetap menjadi anomali mengingat belum banyaknya
literatur yang membahas secara konkret. Wilayah permasalahan ini masih
berada dalam wilayah konspiratif, seperti halnya MK-ULTRA Project yang
oleh sebagian kalangan juga disebut sebagai sebuah konspirasi.
Ilmu pengetahuan empirik belum berhasil membuktikan bagaimana kinerja
peredaran obat bius di Asia Tenggara ini berjalan. Kondisi anomali yang
dimunculkan oleh permasalahan ini menjadi trigger akan munculnya
berbagai halusinasi konspirasi bagi beberapa kalangan, yang kemudian
mengarahkan fenomena ini menjadi sebuah fenomena yang halusinogenik.
Konspirasi menjadi layaknya sebuah zat halusinogen yang menghantui upaya
pembuktian induktif dari suatu anomali. Bahkan, hakikat konspirasi itu
sendiri pun patut dipertanyakan. Apakah konspirasi juga merupakan bagian
dari sebuah konspirasi? Hanya Yang Maha Tahu-lah yang mengetahui hal
ini. Kita hanya berupaya untuk tidak terjebak dalam main-set halusinogen
tersebut, dan terus mencari argumentasi rasional yang menopangnya untuk
dapat mengangkat masalah ini ke tataran non-halusinogenik.
Minggu, 05 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar