ISTILAH “Stockholm syndrome” muncul pertama dalam sejarah psychology
modern, setelah peristiwa perampokan bersenjata yang dilakukan oleh Jan
Erik Olson, dengan menyandera pegawai “Kreditbanken” di jantung kota
Stockholm selama enam hari (tgl. 23 - 28/08/1973). Belum setengah jam
setelah kejadian, Polisi Swedia mengepung. Olson menembak seorang
anggota Polisi yang merambah masuk. Anggota polisi yang luka tembak
diselamatka, sementara itu, para sandera diperintahkan duduk di kursi
dan Olson menyanyikan lagu “Lonesome Cowboy” guna menghiburnya.
Ulah penyandera bikin pihak berkuasa dan Polisi geram dan marah, apalagi
Olson menelefon Perdana Menteri Swedia, Olof Palme, yang nadanya
mengancam akan membunuh semua sandera sambil mendengarkan suara jeritan,
kalau tuntutannya tidak dipenuhi. Olof Palme sempat menyatakan rasa
kesalnya atas sikap Polisi yang dinilai kurang agresif yang seolah-olah
membiarkan perampok bebas dan para sandera menderita. Padahal
sesungguhnya, Polisi sedang menyususn taktik dan negosisasi dengan
penyandera dengan maksud mengelak terjadi kontak senjata dan korban
jiwa.
Dalam rentang enam hari itu, yang dihadapi serentak oleh penyandera
ialah Penguasa, Polisi serta para sandera. Olson berhasil membangun rasa
persahabatan -musuh yang mesti dimusuhi- saling percaya, mengubur
kebencian dan merapatkan emosinya dengan para sandera. Hubungan emosi
yang diciptakan Olson tak ubahnya seperti “emosi atau naluri anak baru
lahir untuk membentuk suatu emosi yang akrab dengan orang dewasa, saling
mengenal dan menghargai.” Frank M. Ochberg & David A. Soskis.
“Victims of Terrorism”. Boulder Colorado: Westview Press, 1982.
Penampilannya intelek, prilakunya menarik dan dalam situasi yang
genting, Olson menyanyikan lagu Roberta Flack’s berjudul: “Killing Me
Softly” yang membuat para sandera merasa kagum dan simpatik kepadanya.
Pada 26. Agustus, Polisi coba melobangi dinding dengan perkiraan bisa
menditeksi posisi sandera dan penyandera, tapi gagal. Pada 28 Agustus,
dalam pembicaraannya dengan Perdana Menteri Swedia, Olson mengancam
membunuh para sandera dengan memakai gas. Dia menyandera 4 orang dalam
bilik jerjak besi dan meminta tebusan supaya rekannya (Clark Olofson
yang meringkuk dalam penjara), dihantar ke sana dengan membawa uang tiga
million Kronor ($730,000 US 1973), dua pucuk senjata lengkap dengan
peluru, pakaian tahan peluru dan mobil cepat. Bagaimana pun, atas izin
dari pihak Penguasa dan Dinas inteligen, Olofson akhirnya diangkut dan
masuk Bank bersama beberapa personil Polisi sebagai negosiator. Olson
dan Olofson menghalangi Polisi merapat ke ruang jerjak besi, tempat 4
orang sandera. Juru runding setuju memenuhi semua perintah Olson,
termasuk memberi sebuah mobil cepat untuk melarikan diri, tapi tidak
mengizinkan membawa serta 4 orang sandera, jika mau selamat. Satu jam
setengah kemudian mereka menyerah.
Kristin Enmark, seorang sandera mengaku bahwa mereka merasa lebih
terjamin dan selamat bersama Olson dan Olofson. Rasa simpatik, bukan
saja diperlihatkan selama disekap enam hari, melainkan juga di luar,
sesudah mereka bebas. Para sandera sering mengunjungi, mengirim kartu
ulang tahun, mengantar makanan ke Penjara. Selama 10 tahun meringkuk
dalam Penjara, Olson banyak menerima surat simpatik dari wanita-wanita
yang pernah dikenalnya selama ini, bahkan berjanji kepada salah seorang,
bila sampai saatnya nanti, akan mengajaknya untuk melakukan ‘unlawful
activities’. Kristin Enmark berjumpa dan menganggap bekas penyanderannya
itu sebagai teman akrab dan menyatu dalam famili Kristin Enmark. Semua
ini Olson lakukan, berkat inspirasi dari film Norrmalmstorg, dibintangi
oleh Håkan Lindhé yang disiarkan TV Swedia pada August 29, 2003.
Inti dari “Stockholm syndrome” ialah: gejala atau perubahan prilaku jiwa
orang-orang yang disandera, dirampas kemerdekaannya, dizalimi, diteror
dan trauma berubah secara ektreem dari rasa membenci menjadi cinta dan
simpatik kepada penyandera mereka. “Unsur yang paling penting dalam
“Stockholm Syndrome” ialah: tidak didapatinya perkataan kasar dan
penjagaan ketat dari penyandera, sehingga lebih mudah dimengerti,
mengapa ada sokongan para sandera, cinta dan merasa saling
ketergantungan sesama mereka. Setiap syndrome mempunyai beberapa gejala,
tapi “Stockholm Syndrome” merupakan pengecualian.” Dr. Joseph M Carver,
PhD. “Love and Stockholm Syndrome”. Korban “Stockholm syndrome” sama
sekali tidak menyadari kalau mereka dalam aksi penjagaan. Inilah yang
kebanyakan terjadi dalam ‘psychologically traumatic situations’ dimana
mereka tidak pernah tahu epilognya. “Stockholm Syndrome” menyertakan
ikatan emosional yang dalam dan saling memerlukan.” Dee L.R. Graham,
Edna Rawlings, Nelly Rimini. “The Stockholm Syndrome: Not Just For
Hostages.”
Gejala (sympthom) kejiwaan ini menjadi objek menarik untuk dikaji dalam
laboratorium psykology. Bayangkan saja, mereka justeru lebih takut
kepada polisi yang kemungkinan menambah runyam masalah oleh sebab
menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan kasus ini. Yang
tidak kurang menariknya adalah: “They clearly sympathized with their
captors, which has led to academic interest in the matter.” Kriminolog
Nils Bejerot. Berdasarkan analisis psycholog ini disimpulakn bahwa:
Natascha Kampusch (10 tahun) yang diculik oleh Wolfgang Priklopil selama
delapan tahun di Austria, menderita “Stockholm syndrome.” Dia sukar
menyembunyikan rasa sedih dan simpatik kepada penculiknya yang mati
bunuh diri. Begitu pula Patty Hearst, pewaris millioner, diculik oleh
“Symbionese Liberation Army.” Setelah dua bulan, Patty ikut serta
menyusun strategi perampokan yang dilakukan bersama. Pengacaranya gagal
membela, kalau kliennya mengidap “Stockholm syndrome”. Kemudian Patty
sadar dan meminta pengurangan hukuman kepada Presiden Jimmy Carter tahun
1979 dan barulah menerima pemaafan dari Presiden Bill Clinton.
“Stockholm Syndrome” bisa saja terjadi dalam lingkungan keluarga dan
hubungan persahabatan. Charles T. Brusca malah lebih jauh mengaitkan
dengan politik dan ideologi. “Rentang masa yang panjang, memungkinkan
mereka merapatkan emosi dan rasa ‘human being’ antara para sandera
dengan penyandera, terutama saat berhadapan dengan masalah politik atau
ideology. Ianya bisa berubah menjadi familiar, bertukar pandangan dan
sejarah mereka menentang penguasa. Sampai akhirnya percaya, bahwa
penyadera itu berada pada posisi yang benar.” Charles T. Brusca
“Psychological Responses to Terrorism.”
Demikianlah duduk perkaranya. Jadi, “Stockholm syndrome” merupakan suatu
pengajaran penting tentang prilaku labil (multi dimensi) manusia .
Apalagi jika dikaitkan dengan politik dan ideology. Rasa dendam dan
kebencian terhadap seseorang atau satu kelompok, karena terbukti telah
melakukan kejahatan kamusiaan yang menghancurkan martabat dan peradaban
manusia, bisa bertukar menjadi idola, hormat, tempat mengadu dan
simpatik kepada sipenjahat kemanusiaan itu, bahkan untuk menyatakan
kesetiaannya, mereka memilih sipenjahat itu menjadi Imamnya
(pemimpinnya).
Minggu, 05 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar