“Dan takutlah (peliharalah) dirimu dari (azab yang terjadi) pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan pada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-Baqarah [2]: 281)
Muqaddimah
Ayat ini menjadi penutup risalah kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lakon dakwah yang diperankan Nabi selama 23 tahun di kota Makkah dan Madinah berujung pada turunnya ayat ini. Imam al-Qurthubi, pengarang kitab Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur`an menerangkan, ayat ini turun tepatnya sembilan malam sebelum wafatnya Nabi. Setelah itu tak ada lagi ayat yang turun. Ibnu Jubair dan al-Muqatil berpendapat, tujuh malam sebelum Nabi wafat. Sedang dalam riwayat yang lain menyebut tiga malam. (Tafsir al-Qurthubi, Muassasah ar-Risalah, Beirut/ 2006).
Makna Ayat
Hari yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Hari Kiamat, meski ada beberapa mufassirun yang mengartikan sebagai hari kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang memiliki nyawa dan hidup di dunia ini. Bagi sebagian orang, mati adalah penutup segalanya. Namun bagi orang beriman, ia justru menjadi gerbang awal dalam menjalani kehidupan yang abadi setelah Hari Kiamat.
Ayat di atas diawali dengan kata “wattaqu” yang bermakna perintah untuk takut kepada kejadian tersebut. Sebuah kejadian dahsyat yang menjadi ending dari seluruh episode kehidupan manusia selama ini. Selain diperintahkan untuk takut kepada kiamat tersebut, manusia juga diperintahkan untuk takut kepada api neraka sebagai ujung perjalanan bagi orang-orang yang timbangan keburukannya ternyata lebih berat dari amalan kebaikannya di dunia.
Bagi seorang Muslim, cukuplah gambaran dalam al-Qur`an menjadi dasar kengerian akan hari tersebut. Ketika gunung-gunung yang selama ini menancap kokoh tiba-tiba beterbangan layaknya kapas yang dipermainkan oleh angin. Hari dimana langit tempat berteduh menjadi runtuh dan terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan. Air laut tiba-tiba tumpah meluap, kuburan-kuburan terbongkar serta berbagai peristiwa dahsyat lainnya.
Ayat ini dengan sendirinya juga menerangkan, takut merupakan bagian dari ibadah seorang mukmin. Ketika seseorang bisa mendapat ganjaran pahala dari ar-raja (berharap) akan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ketika ia menempatkan rasa al-khauf (takut) sesuai dengan perintah secara proporsional, niscaya ia juga memperoleh pahala yang dijanjikan. Sebagai seorang qudwah (teladan), Nabi mengajarkan untuk mengaplikasikan rasa takut tersebut dengan usaha semaksimal mungkin. Meski ‘hanya” dengan sepotong kurma. “Hindarilah api neraka meskipun dengan sepotong kurma.” (Riwayat Muttafaq alaih).
Sudah Dekat
Dalam sebuah Hadits, Nabi menggambarkan kedekatan peristiwa itu dengan merapatkan dua buah jarinya. “Aku diutus dan Hari Kiamat itu (begitu dekat) layaknya (kedekatan) dua jari ini. Nabi lalu merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.” (Riwayat Muslim)
Di antara tanda semakin dekatnya Hari Kiamat, tak lain dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai penutup risalah kenabian. Tak ada lagi nabi setelahnya kecuali kiamat yang datang mengiringinya. Jarak antara diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir sangat dekat dengan kiamat, jika dibandingkan dengan umur dunia yang semakin menua dan telah dihuni oleh beberapa umat terdahulu.
Takut yang Produktif
Informasi tentang dekatnya kiamat terkadang menimbulkan salah kaprah di tengah kaum Muslimin. Tak sedikit dari mereka justru lalu menyibukkan diri untuk meramal kapan kiranya peristiwa itu terjadi. Sebagian mereka mulai ribut menghitung mundur waktu yang ada. Mengkait-kaitkan beberapa kejadian di dunia ini sebagai justifikasi dari upaya dusta yang mereka lakukan.
Hal demikian tentunya sesuatu yang keliru dan perlu diluruskan. Sebab, apa yang mereka ramal adalah rahasia Allah Ta’ala yang tak ada seorang makhluk pun yang mengetahuinya. Termasuk Nabi sendiri ketika ditanya kapan kiamat itu terjadi, beliau hanya mampu menjawab, “Tidaklah yang ditanya itu lebih mengetahui dari orang yang bertanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mencari tahu kapan kiamat itu tiba. Hal yang esensi justru seperti apa kesiapan kita dalam menyiapkan perbekalan guna menempuh babak baru dalam kehidupan manusia yang kekal dan abadi.
Rasa takut yang dikehendaki hendaknya menjadi energi baru dalam menebar kebaikan sebanyak mungkin. Takut yang produktif akan menghasilkan orang-orang yang giat beramal dan berdakwah. Ia hanya fokus pada bekal amalannya yang terasa masih sangat sedikit. Merasa jika amalannya tak sebanding dengan kengerian kejadian yang bakal terjadi tersebut. Dengan kesadaran seperti itu, seorang Muslim tak sempat lagi berpikir macam-macam. Berpikir saja tak sempat, apalagi lalu mencari waktu untuk duduk santai sambil meng-ghibah dan menceritakan kejelekan dan aib saudaranya yang lain.
Rasa takut yang benar juga akan mengantarkan pemiliknya untuk tidak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Seseorang dilarang berputus asa dan hanya pasrah menunggu keadaan yang akan terjadi. Hanya gara-gara merasa kiamat yang sudah di depan mata.
Pelajaran Berharga
Akhir-akhir ini, aroma kematian rasanya begitu dekat dengan masyarakat Indonesia. Berbagai bencana alam dan musibah silih berganti datang menghampiri. Sebut saja bencana alam meletusnya Gunung Merapi di Jogjakarta. Ratusan ribu warga menjadi panik dan mengungsi ke tempat yang aman karena ingin selamat agar terhindar dari Gunung Merapi yang lagi “batuk” tersebut.
Bagi orang beriman, ragam kejadian yang melanda masyarakat kita belakangan ini hendaknya menjadi sinyal dini. Betapa manusia tak punya kuasa sedikit pun di hadapan kebesaran Sang Kuasa. Dengan segala kejeniusan akal dan kecanggihan teknologi manusia, hal itu rupanya tak mengangkat derajat mereka sebagai makhluk yang tak berdaya di mata Allah Ta’ala.
Berbagai bencana dan musibah yang melanda hanyalah akibat dari ulah tangan manusia sendiri, sebagai ujian dan teguran bagi orang-orang beriman. Peristiwa itu tidaklah bernilai apa-apa dibanding dahsyatnya Hari Kiamat. Hari dimana tak lagi tersisa sejengkal tanah bagi manusia guna mengungsi mencari perlindungan.
Khatimah
Hal lain yang perlu dicemaskan adalah ketika Allah Ta’ala menegaskan di penghujung ayat jika masing-masing diri mendapat ganjaran setimpal dan sempurna atas segala apa yang ia perbuat di dunia ini. Allah Ta’ala tak akan merugikan sedikit pun hak seorang hamba, kecuali ia sendiri yang berbuat lalai selama ini. Perjalanan panjang dalam kehidupan ini tak jarang melenakan manusia. Berbagai kenikmatan duniawi sedikit demi sedikit bisa menggeser cita-cita tinggi mereka untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi (akhirat).
dikutip: hidayatullah.com
Kamis, 10 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar