Sabtu, 19 November 2011

Sutera Kasih MU

Kian lama terpenjara
Mencari makna cinta
Dalam ungkap kata bersulam dusta

Bila gerbang rahmat terbuka
Menjelma cinta suci
Sehalus dan selembut sutera kasih

Terbentanglah tersingkap kebenaran
Terlerailah terbenam kepalsuan
Tuhan pada-Mu ada kedamaian

Diribaan-Mu kebahagiaan
Tiada lagi rasa kesangsian di hati
Cinta Mu cinta tulus suci murni
Kasih-Mu nan abadi

Bertautlah bercambahlah cinta
Mengharum dalam jiwa
Menemukan kerinduan syahdu
Pada yang Maha Esa

Sutera kasih membelai
Membalut kelukaan itu
Sutera kasih melambai
Mengisi kekosongan pengharapan

Rela pasrahkan kehidupan
Mengharungi cabaran
Rintangan perjalanan di hadapan

Doa dan titis air mata
Mendamba sutera kasih
Agar terus bersemi selamanya





Minggu, 13 November 2011

Bondan Prakoso & Fade2Black Save Our Soul Lyrics

     Bondan Prakoso & Fade2Black Save Our Soul
terhimpit pelik strata kasta manusia
masih terjepit lingkungan hitam membuai mata
mereka masuk, melesat, menyebar
dari akar sisa generasi yang tersebar
Lezz:
entah kemana kan ku bawa diriku pergi
karena ku terjebak dalam sistem industri
lahir, sekolah, bekerja, mati
sistem hidupku berpatok pada materi
Titz:
Oy..kobarkanlah api perjuangan
siapa kuat, tancapkan kaki dialah yang bertahan
jangan mundurkan jengkal langkahmu hey, kawan
bersiaplah tuk suatu fase perubahan
Bondan:
Wake up everyone, coz now it’s time to face the revolution
Reff:
SAVE OUR SOUL..we need a new word
SAVE OUR SOUL..ready for changes
SAVE OUR SOUL..
Prepare your self for (REVOLUTION) 2X
Santoz:
ready for everything, It’s a MUST!
ready for fighting, It’s a MUST!
prepare for something..something to prepare
Whole in da wall?? just save our soul
Bondan:
Wake up everyone, coz now it’s time to face the revolution
Reff:
SAVE OUR SOUL..we need a new word
SAVE OUR SOUL..ready for changes
SAVE OUR SOUL..
Prepare your self for (REVOLUTION) 2X

Kamis, 10 November 2011

Ketika Hari Kepastian itu Datang

“Dan takutlah (peliharalah) dirimu dari (azab yang terjadi) pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan pada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-Baqarah [2]: 281)
Muqaddimah
Ayat ini menjadi penutup risalah kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lakon dakwah yang diperankan Nabi selama 23 tahun di kota Makkah dan Madinah berujung pada turunnya ayat ini. Imam al-Qurthubi, pengarang kitab Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur`an menerangkan, ayat ini turun tepatnya sembilan malam sebelum wafatnya Nabi. Setelah itu tak ada lagi ayat yang turun. Ibnu Jubair dan al-Muqatil berpendapat, tujuh malam sebelum Nabi wafat. Sedang dalam riwayat yang lain menyebut tiga malam. (Tafsir al-Qurthubi, Muassasah ar-Risalah, Beirut/ 2006).
Makna Ayat
Hari yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Hari Kiamat, meski ada beberapa mufassirun yang mengartikan sebagai hari kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang memiliki nyawa dan hidup di dunia ini. Bagi sebagian orang, mati adalah penutup segalanya. Namun bagi orang beriman, ia justru menjadi gerbang awal dalam menjalani kehidupan yang abadi setelah Hari Kiamat.
Ayat di atas diawali dengan kata “wattaqu” yang bermakna perintah untuk takut kepada kejadian tersebut. Sebuah kejadian dahsyat yang menjadi ending dari seluruh episode kehidupan manusia selama ini. Selain diperintahkan untuk takut kepada kiamat tersebut, manusia juga diperintahkan untuk takut kepada api neraka sebagai ujung perjalanan bagi orang-orang yang timbangan keburukannya ternyata lebih berat dari amalan kebaikannya di dunia.
Bagi seorang Muslim, cukuplah gambaran dalam al-Qur`an menjadi dasar kengerian akan hari tersebut. Ketika gunung-gunung yang selama ini menancap kokoh tiba-tiba beterbangan layaknya kapas yang dipermainkan oleh angin. Hari dimana langit tempat berteduh menjadi runtuh dan terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan. Air laut tiba-tiba tumpah meluap, kuburan-kuburan terbongkar serta berbagai peristiwa dahsyat lainnya.
Ayat ini dengan sendirinya juga menerangkan, takut merupakan bagian dari ibadah seorang mukmin. Ketika seseorang bisa mendapat ganjaran pahala dari ar-raja (berharap) akan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ketika ia menempatkan rasa al-khauf (takut) sesuai dengan perintah secara proporsional, niscaya ia juga memperoleh pahala yang dijanjikan. Sebagai seorang qudwah (teladan), Nabi mengajarkan untuk mengaplikasikan rasa takut tersebut dengan usaha semaksimal mungkin. Meski ‘hanya” dengan sepotong kurma. “Hindarilah api neraka meskipun dengan sepotong kurma.” (Riwayat Muttafaq alaih).
Sudah Dekat
Dalam sebuah Hadits, Nabi menggambarkan kedekatan peristiwa itu dengan merapatkan dua buah jarinya. “Aku diutus dan Hari Kiamat itu (begitu dekat) layaknya (kedekatan) dua jari ini. Nabi lalu merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.” (Riwayat Muslim)
Di antara tanda semakin dekatnya Hari Kiamat, tak lain dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai penutup risalah kenabian. Tak ada lagi nabi setelahnya kecuali kiamat yang datang mengiringinya. Jarak antara diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir sangat dekat dengan kiamat, jika dibandingkan dengan umur dunia yang semakin menua dan telah dihuni oleh beberapa umat terdahulu.
Takut yang Produktif
Informasi tentang dekatnya kiamat terkadang menimbulkan salah kaprah di tengah kaum Muslimin. Tak sedikit dari mereka justru lalu menyibukkan diri untuk meramal kapan kiranya peristiwa itu terjadi. Sebagian mereka mulai ribut menghitung mundur waktu yang ada. Mengkait-kaitkan beberapa kejadian di dunia ini sebagai justifikasi dari upaya dusta yang mereka lakukan.
Hal demikian tentunya sesuatu yang keliru dan perlu diluruskan. Sebab, apa yang mereka ramal adalah rahasia Allah Ta’ala yang tak ada seorang makhluk pun yang mengetahuinya. Termasuk Nabi sendiri ketika ditanya kapan kiamat itu terjadi, beliau hanya mampu menjawab, “Tidaklah yang ditanya itu lebih mengetahui dari orang yang bertanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mencari tahu kapan kiamat itu tiba. Hal yang esensi justru seperti apa kesiapan kita dalam menyiapkan perbekalan guna menempuh babak baru dalam kehidupan manusia yang kekal dan abadi.
Rasa takut yang dikehendaki hendaknya menjadi energi baru dalam menebar kebaikan sebanyak mungkin. Takut yang produktif akan menghasilkan orang-orang yang giat beramal dan berdakwah. Ia hanya fokus pada bekal amalannya yang terasa masih sangat sedikit. Merasa jika amalannya tak sebanding dengan kengerian kejadian yang bakal terjadi tersebut. Dengan kesadaran seperti itu, seorang Muslim tak sempat lagi berpikir macam-macam. Berpikir saja tak sempat, apalagi lalu mencari waktu untuk duduk santai sambil meng-ghibah dan menceritakan kejelekan dan aib saudaranya yang lain.
Rasa takut yang benar juga akan mengantarkan pemiliknya untuk tidak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Seseorang dilarang berputus asa dan hanya pasrah menunggu keadaan yang akan terjadi. Hanya gara-gara merasa kiamat yang sudah di depan mata.
Pelajaran Berharga
Akhir-akhir ini, aroma kematian rasanya begitu dekat dengan masyarakat Indonesia. Berbagai bencana alam dan musibah silih berganti datang menghampiri. Sebut saja bencana alam meletusnya Gunung Merapi di Jogjakarta. Ratusan ribu warga menjadi panik dan mengungsi ke tempat yang aman karena ingin selamat agar terhindar dari Gunung Merapi yang lagi “batuk” tersebut.
Bagi orang beriman, ragam kejadian yang melanda masyarakat kita belakangan ini hendaknya menjadi sinyal dini. Betapa manusia tak punya kuasa sedikit pun di hadapan kebesaran Sang Kuasa. Dengan segala kejeniusan akal dan kecanggihan teknologi manusia, hal itu rupanya tak mengangkat derajat mereka sebagai makhluk yang tak berdaya di mata Allah Ta’ala.
Berbagai bencana dan musibah yang melanda hanyalah akibat dari ulah tangan manusia sendiri, sebagai ujian dan teguran bagi orang-orang beriman. Peristiwa itu tidaklah bernilai apa-apa dibanding dahsyatnya Hari Kiamat. Hari dimana tak lagi tersisa sejengkal tanah bagi manusia guna mengungsi mencari perlindungan.
Khatimah
Hal lain yang perlu dicemaskan adalah ketika Allah Ta’ala menegaskan di penghujung ayat jika masing-masing diri mendapat ganjaran setimpal dan sempurna atas segala apa yang ia perbuat di dunia ini. Allah Ta’ala tak akan merugikan sedikit pun hak seorang hamba, kecuali ia sendiri yang berbuat lalai selama ini. Perjalanan panjang dalam kehidupan ini tak jarang melenakan manusia. Berbagai kenikmatan duniawi sedikit demi sedikit bisa menggeser cita-cita tinggi mereka untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi (akhirat).

dikutip: hidayatullah.com

Memaknai Salam

-->

Seorang anak kelas 1 SD berkata pada ibunya, “Ummi, sekarang aku tahu mengapa kita harus mengucapkan salam dan bersalaman sebelum pergi dari rumah.”
“Oya, mengapa memangnya?” sang ibu penasaran.
“Karena waktu pergi dari rumah, kita tidak pernah tahu apakah kita akan selamat kembali ke rumah. Jadi waktu bersalaman kita harus benar-benar mendoakan dan saling memaafkan,” kata sang anak perempuan tersebut dengan ekspresi serius.
Si ibu tersebut tersentak karena ternyata anaknya yang baru berusia tujuh tahun telah memahami makna dari ucapan salam. Karena salam sudah menjadi hal yang rutin dan biasa, seringkali tak disadari lagi maknanya dan mengucapkannya pun dengan sambil lalu.
Seperti yang disampaikan anak tersebut, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang yang melangkah dalam keadaan selamat kembali ke rumah. Mungkin kecelakaan di jalan bisa saja mengakhiri hidupnya, atau sakit tiba-tiba pun bisa mengancam jiwanya.
Mengucapkan salam selain dilakukan saat bertemu dan berpisah secara fisik, juga saat berbicara jarak jauh yaitu menggunakan pesawat telepon. Namun saat mengucapkan salam lewat telepon pun seringkali karena spontanitas, tidak benar-benar sambil mendoakannya.
Ada seorang ibu yang jika menelepon anak remajanya bahkan tidak mengucapkan salam sama sekali. Kalimat pertama yang diucapkannya, “Putri dimana?” Karena selalu kalimat itu yang diucapkan sang ibu saat meneleponnya, maka anak gadis tersebut menyimpan nama ibunya di telepon selulernya bukan dengan nama sang ibu tapi dengan tulisan “PUTRI DIMANA”.
Pertanyaan “Putri Dimana?” dengan nada cemas ternyata dirasakan tidak nyaman oleh anak gadis tersebut. Ia merasa seolah ibunya tidak mempercayainya. Ucapan salam dengan doa sepenuh hati tentu jauh lebih baik dibanding pertanyaan dengan nada mencurigai.
Pentingnya mengucapkan salam banyak dimuat dalam Hadist. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan Allah.”
Salam meskipun terkesan sederhana, namun merupakan amalan yang memiliki keutamaan. Rasulullah bahkan menyebutnya sebagai perbuatan baik yang paling utama di antara perbuatan-perbuatan baik yang kita kerjakan. Sayang, jika dalam pelaksanaannya kurang dihayati.
Sebelum Islam datang, orang Arab biasa menggunakan ungkapan “Hayakallah” yang artinya ‘semoga Allah menjagamu tetap hidup.’ Namun kemudian Islam memperkenalkan ungkapan “Assalamu ‘alaikum” yang bisa artinya “semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan, dan nestapa.” Islam tidak hanya menyarankan ucapan salam yang mendoakan ‘untuk tetap hidup’, tetapi salam yang mendoakan ‘agar hidup dengan penuh kebaikan’.
Sebagaimana diucapkan oleh anak di atas, saat para suami, istri, anak berpisah di pagi hari belum tentu mereka akan bertemu lagi. Jika menyadari hal itu, tentu saat salaman mereka akan melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan doa yang khusyu’ dan tulus. Dengan demikian saat sore hari mereka berkumpul kembali, ucapan salam akan diucapkan dengan penuh kesyukuran karena ternyata Allah masih memberi mereka kesempatan untuk bertemu lagi dalam keadaan sehat wal afiat.
Semoga kita senantiasa mengucapkan salam dengan sepenuh hati, yang dengan salam tersebut makin mendekatkan hubungan antara anggota keluarga dan makin menumbuhkan kasih sayang



Dikutip: hidayatullah.com